Rabu, 29 Juni 2011

Meminta Bantuan Jin.. Adakah ia dilarang?

Dalam Islam untuk menjaga gudang atau rumah ada dua jenis yaitu penjagaan yang sifatnya manusiawi, atau yang bisa terlihat seperti adanya Satpam sehingga tidak ada pencurian yang dapat dilakukan oleh manusia. Adapun untuk menjaga gudang atau rumah dari pencurian yang dilakukan oleh manusia, yaitu dijaga dengan menggunakn makhluk halus, maka itu termasuk dalam tema kerjasama antara manusia dan jin. Kerjasama antara manusia dan jin sangat dilarang oleh Allah ta’aala, karena hanya akan menambah dosa dan kesesatan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Seperti yang disebutkan dalam surat Al-Jinn ayat 6: Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Jadi, untuk menjaga kehilangan yang disebabkan oleh manusia harus dilakukan usaha penjagaan oleh manusia juga. Tidak boleh dilakukan dengan menggunakan jin, karena selain tidak diizinkan, juga akan berefek pada diri kita di kemudian hari. Seperti yang pernah terjadi pada zaman Abu Hurairah, Setan itulah yang justru mencuri harta di gudang yang digunakan untuk menyimpan harta zakat. Jika kita menggunakan jin untuk menjaga gudang atau rumah, maka setan atau jin tersebut biasanya akan meminta sesuatu pada kita, dan itu harus dipenuhi, agar mereka mau menjaga harta kita. Dan biasanya akan mengarahkan kita pada perbuatan yang syirik.

Penjagaan yang sifatnya ghaib dalam Islam juga ada ajarannya, biasanya ajaran ini untuk menghalangi setan atau jin yang ingin mencuri. Kalau pencurinya makhluk halus, maka Satpam yang menjaga tidak dapat menghalangi. Kecuali jin itu menampakan diri seperti di zaman Abu Hurairah, dan jin itu bisa ditangkap olehnya. Oleh karena itu, ada penjagaan-penjagaan yang sifatnya ghaib, untuk menangkal hal-hal seperti itu.

Karena sifatnya ghaib, seperti yang disebutkan oleh Rasulallah adalah menutup pintu atau menutup apa saja dengan Basmallah. Nabi pernah bersabda bahwa tempat yang ditutup dengan Bismillah, maka tidak akan bisa dibuka oleh setan. Untuk itu, tutuplah gudang atau rumah anda dengan Bismillah, maka dapat menjaga dari usaha pencurian yang dilakukan oleh jin atau setan.

Disarankan pula untuk membersihkan dan menjaga harta dengan zakat. semoga Allah menjaga kita.



lanjutan....

*Menggunakan jasa satpam bukan berarti tidak tawakkal, malah inilah tawakkal jika memang jasa satpam tersebut diperlukan pada kondisi tersebut. Lain perkara dengan menggunakan jin, keduanya tidak bisa disandingkan sebab jelas berbeda, telah jelas bahwa bekerjasama dengan jin adalah terlarang, dan yang melarang adalah Allah Yang Maha Mengetahui.



Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menjelaskan: “Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung dalam menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada seseorang atau memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dan termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan terkabulkannya permintaan dan tertunaikannya segala hajat, termasuk dari katagori istimta’ (bersenang-senang) dengan mereka. Perbuatan ini terjadi dengan cara mengagungkan mereka, berlindung kepada mereka, dan kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan segala yang dibutuhkannya. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا

“Dan ingatlah hari di mana Allah menghimpun mereka semuanya dan Allah berfirman: ‘Wahai segolongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.’ Kemudian berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari kami telah mendapatkan kesenangan dari sebahagian yang lain dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami’.” (Al-An’am: 128)



Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau agar melindunginya dari kejahatan orang-orang yang jahat, hal ini termasuk dari kesyirikan. Barangsiapa demikian keadaannya, niscaya tidak akan diterima shalat dan puasanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu melakukan kesyirikan, niscaya amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar: 65)

Barangsiapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan jenazahnya, tidak diringi jenazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan orang-orang Islam.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/162-163)



Sedangkan makna tawakkal, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”



Jangan salah sangka mengenai tawakkal,

Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.

Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)



Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya.



Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalamShohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhuberkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1/368)

Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

***

Dari berbagai sumber.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda