Jumat, 01 Juli 2011

SYIRIK DALAM ISLAM

Pembagian syirik ada berbagai macam tergantung dikelompokkan pada kelompok yang mana.
1. Syirik yang Terkait dengan Kekhususan Allah Ta’ala
a. Syirik di dalam Rububiyyah
Yaitu meyakini bahwa selain Allah mampu menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan atau mematikan dan lainnya dari sifat-sifat rububiyyah.
b. Syirik di dalam Uluhiyyah
Yaitu meyakini bahwa selain Allah bisa memberikan madharat atau manfaat, memberikan syafaat tanpa izin Allah, dan lainnya yang termasuk sifat-sifat uluhiyyah.
c. Syirik di dalam Asma’ wa Sifat
Yaitu seorang meyakini bahwa sebagian makhluk Allah memiliki sifat-sifat khusus yang Allah ta’alla miliki, seperti mengetahui perkara gaib, dan sifat-sifat lainnya yang merupakan kekhususan Rabb kita yang Maha Suci.
2. Syirik Menurut Kadarnya
a. Syirik Akbar (besar)
Yaitu syirik dalam keyakinan, dan hal ini mengeluarkan pelakunya dari agama islam.
- Syirik dalam berdoa
Adalah merendahkan diri kepada selain Allah dengan tujuan untuk istighatsah dan isti’anah kepada selain-Nya.
- Syirik dalam niat, kehendak dan maksud
Adalah manakala melakukan ibadah tersebut semata-mata ingin dilihat orang atau untuk kepentingan dunia semata.
- Syirik dalam keta’atan
Yaitu menjadikan sesuatu sebagai pembuat syariat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah dalam menjalankan syariat dan ridho atas hukum tersebut.
- Syirik dalam kecintaan
Adalah mengambil makhluk sebagai tandingan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyetarakan kecintaan makhluk dengan Allah.
b. Syirik Ashghar (kecil)
Yaitu riya’, hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam, akan tetapi pelakunya wajib untuk bertaubat. Akan tetapi bukan hanya riya’ saja yang termasuk syirik Ashgar. Riya’ termasuk Syirik Ashghar namun tidak semua Syirik Ashghar hanya berupa riya’.
c. Syirik Khafi (tersembunyi)
Yaitu seorang beramal dikarenakan keberadaan orang lain, hal ini pun termasuk riya’, dan hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam sebagaimana anda ketahui, namun pelakunya wajib bertaubat.
3. Syirik Menurut Letak Terjadinya
a. Syirik I’tiqodi
Syirik yang berupa keyakinan, misalnya meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan kita dan memberi rizki pada kita namun di sisi lain juga percaya bahwa dukun bisa mengubah takdir yang digariskan kepada kita. Hal ini termasuk Syirik Akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam, kita berlindung kepada Allah dari hal ini.
b. Syirik Amali
Yaitu setiap amalan fisik yang dinilai oleh syari’at islam sebagai sebuah kesyirikan, seperti menyembelih untuk selain Allah, dan bernazar untuk selain Allah dan lainnya.
c. Syirik Lafzhi
Yaitu setiap lafazh yang dihukumi oleh syari’at islam sebagai sebuah kesyirikan, seperti bersumpah dengan selain nama Allah, seperti perkataan sebagian orang, “Tidak ada bagiku kecuali Allah dan engkau”, dan “Aku bertawakal kepadamu”, “Kalau bukan karena Allah dan si fulan maka akan begini dan begitu”, dan lafazh-lafazh lainnya yang mengandung unsur kesyirikan.
Dengan mengetahui beberapa kategori syirik diatas dapat membantu kita untuk menghindarinya agar tidak terjatuh dalam kesyirikan dalam bentuk apapun dan cara bagaimana pun. Semoga kita semua bisa terhindar dari syirik tersebut di manapun dan kapan pun jua. Wallohu a’lam bishowab.

Maraji’:
Penjelasan Al-Qaul Al-Mufid fii Adillati At-Tauhid (terj)

Label:

Rabu, 29 Juni 2011

Meminta Bantuan Jin.. Adakah ia dilarang?

Dalam Islam untuk menjaga gudang atau rumah ada dua jenis yaitu penjagaan yang sifatnya manusiawi, atau yang bisa terlihat seperti adanya Satpam sehingga tidak ada pencurian yang dapat dilakukan oleh manusia. Adapun untuk menjaga gudang atau rumah dari pencurian yang dilakukan oleh manusia, yaitu dijaga dengan menggunakn makhluk halus, maka itu termasuk dalam tema kerjasama antara manusia dan jin. Kerjasama antara manusia dan jin sangat dilarang oleh Allah ta’aala, karena hanya akan menambah dosa dan kesesatan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Seperti yang disebutkan dalam surat Al-Jinn ayat 6: Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Jadi, untuk menjaga kehilangan yang disebabkan oleh manusia harus dilakukan usaha penjagaan oleh manusia juga. Tidak boleh dilakukan dengan menggunakan jin, karena selain tidak diizinkan, juga akan berefek pada diri kita di kemudian hari. Seperti yang pernah terjadi pada zaman Abu Hurairah, Setan itulah yang justru mencuri harta di gudang yang digunakan untuk menyimpan harta zakat. Jika kita menggunakan jin untuk menjaga gudang atau rumah, maka setan atau jin tersebut biasanya akan meminta sesuatu pada kita, dan itu harus dipenuhi, agar mereka mau menjaga harta kita. Dan biasanya akan mengarahkan kita pada perbuatan yang syirik.

Penjagaan yang sifatnya ghaib dalam Islam juga ada ajarannya, biasanya ajaran ini untuk menghalangi setan atau jin yang ingin mencuri. Kalau pencurinya makhluk halus, maka Satpam yang menjaga tidak dapat menghalangi. Kecuali jin itu menampakan diri seperti di zaman Abu Hurairah, dan jin itu bisa ditangkap olehnya. Oleh karena itu, ada penjagaan-penjagaan yang sifatnya ghaib, untuk menangkal hal-hal seperti itu.

Karena sifatnya ghaib, seperti yang disebutkan oleh Rasulallah adalah menutup pintu atau menutup apa saja dengan Basmallah. Nabi pernah bersabda bahwa tempat yang ditutup dengan Bismillah, maka tidak akan bisa dibuka oleh setan. Untuk itu, tutuplah gudang atau rumah anda dengan Bismillah, maka dapat menjaga dari usaha pencurian yang dilakukan oleh jin atau setan.

Disarankan pula untuk membersihkan dan menjaga harta dengan zakat. semoga Allah menjaga kita.



lanjutan....

*Menggunakan jasa satpam bukan berarti tidak tawakkal, malah inilah tawakkal jika memang jasa satpam tersebut diperlukan pada kondisi tersebut. Lain perkara dengan menggunakan jin, keduanya tidak bisa disandingkan sebab jelas berbeda, telah jelas bahwa bekerjasama dengan jin adalah terlarang, dan yang melarang adalah Allah Yang Maha Mengetahui.



Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menjelaskan: “Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung dalam menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada seseorang atau memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dan termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan terkabulkannya permintaan dan tertunaikannya segala hajat, termasuk dari katagori istimta’ (bersenang-senang) dengan mereka. Perbuatan ini terjadi dengan cara mengagungkan mereka, berlindung kepada mereka, dan kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan segala yang dibutuhkannya. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا

“Dan ingatlah hari di mana Allah menghimpun mereka semuanya dan Allah berfirman: ‘Wahai segolongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.’ Kemudian berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari kami telah mendapatkan kesenangan dari sebahagian yang lain dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami’.” (Al-An’am: 128)



Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau agar melindunginya dari kejahatan orang-orang yang jahat, hal ini termasuk dari kesyirikan. Barangsiapa demikian keadaannya, niscaya tidak akan diterima shalat dan puasanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu melakukan kesyirikan, niscaya amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar: 65)

Barangsiapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan jenazahnya, tidak diringi jenazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan orang-orang Islam.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/162-163)



Sedangkan makna tawakkal, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”



Jangan salah sangka mengenai tawakkal,

Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.

Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)



Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya.



Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalamShohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhuberkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1/368)

Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

***

Dari berbagai sumber.

Selasa, 28 Juni 2011

BENARKAH TAREKAT ITU SESAT?

Kata Syeikh Ahmad Al-Rafaie, ” Tidak ada jalan yang lebih mudah menghampirkan diri dengan Allah kecuali melalui Tarekat“. Tarekat rupakan bagian terpenting dari pelaksanaan syariat Islam di bidang Tasauf. Mempelajari ilmu Tasauf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat dianggap sia-sia. Prof. H. Abu Bakar Acheh dalam bukunya ‘Syariat Ilmu Fikah Menurut Kad Tarekat Kadriah’ berkata, ” Dalam ajaran Tasauf diterangkan bahwa syariat itu hanya peraturan belaka, sementara tharikat merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila syariat dan Tarekat sudah dapat dikuasai maka lahirlah hakikat, yang tidak lain adalah memperbaiki hal ihwal zahiriah (yakni akhlak yang mulia)”.

Menurut Al Ghazali ‘ tarekat adalah sebagian perjalanan syariat batiniah’. Walau bagaimanapun untuk menjalani tarekat, menurut Imam Malik dan Imam Al Ghazali, memerlukan kekuatan di bidang ilmu syariat terutama di bidang Usuluddin (Tauhid). Kelebihan ilmu tarekat amat banyak. Menurut Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Al Munkizu Minad Dhalalah bahwa kelebihan ilmu tarekat itu akan menjadikan seseorang yang menjalaninya mempunyai akhlak yang mulia (zahir dan batin) menepati akhlak nabi. Kata Sheikh Muhammad Al Sulaiman,” Barang siapa yang menjalani ilmu tarekat ia akan mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat serta kesudahan matinya dalam kebajikan (Husnul khotimah) “. Ahli-ahli tarekat senantiasa bersifat tawaduk dan menjauhi takabur (ego). Kata Sheikh Syed Muhammad Saman,” Orang yang bersusah-susah dan bersunguh-sungguh menempuh jalan riadhatun nafsi (latihan melawan nafsu) dia akan mencapai darjat yang tinggi di sisi Allah SWT “.

Demikian kelebihan-kelebihan batin yang disebut di dalam kitab Sirrus Salikin tentang kelebihan tarekat. Sementara kelebihan zahiriah lainnya adalah yang menjalani ilmu tarekat ia akan mendapat kekuatan ukhwah, mendapat pertolongan Allah dari tentangan musuh, menjadikan dia taat kepada pucuk pimpinan, gigih berjuang dan berkorban dsb. Ini dibuktikan oleh kajian pihak musuh Islam tentang puncak-puncak kekuatan umat Islam dahulu. Pada zahirnya mereka tampak lemah di bidang material tapi susah untuk ditumpas dan dijajah diri, akal dan jiwa mereka.

Laurens Of Arabian salah seorang orientalis sedunia, telah membuat kajian-kajian tentang puncak-puncak kekuatan umat Islam dan didapati bahwasanya kekuatan umat Islam adalah kerana di barisan depannya adalah terdiri dari ahlil-ahli Tasauf dan ahli-ahli tarekat. Mereka adalah orang-orang yang paling gigih menentang penjajahan dan menangkis kepura-puraan yang ditaburkan oleh musuh-musuh Islam. Laurens telah membuktikan hujjahnya dengan sejarah, bagaimana gerakan tarekat Idrisiah di Maghribi (Maroko) berhasil dengan gemilang merebut kemerdekaan dari penjajah. Raja-raja kerajaan Osmaniah dan para tentaranya adalah terdiri dari ahli-ahli tarekat. Mereka berkhalwat beberapa hari sebelum keluar berperang.

Selain itu pihak orientalis atas arahan pihak kolonial telah menyelidiki juga tarekat-tarekat, antara lain Idrisiah di Libya dan beberapa negara Islam lainnya, termasuk kepulauan Melayu oleh Snouck Hurgronje orientalis Belanda di Indonesia. Hasil kajian dan laporan yang diberikan kepada pemerintah kolonial itulah yang menyebabkan lahirnya kecurigaan terhadap gerakan tarekat dalam Islam.

Laurens Of Arabian telah diarahkan supaya menyelidiki ke dalam masyarakat Islam dengan menyamar sebagai ulama dan mendalami ilmu Islam di Mekah dan Mesir (Al Azhar) dan ia telah bertemu dengan ratusan ulama besar yang masyur, memperbincangkan tentang cara untuk membiasakan umat Islam di segi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat serta ia menyebarkan faham supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.

Pihak penjajah memandang gerakan tarekat berbahaya bagi kekuasaan mereka. Untuk menyekat dan menghapuskannya, Prof. Haji Abu Bakar Acheh dalam bukunya Syariat telah menyampaikan puncak timbulnya ordinan’s guru tahun 1925 di Indonesia. Melalui ordinan’s itu katanya, bagi guru-guru agama yang hendak mengajar agama terutamanya bidang tarekat hendaklah mendaftarkan diri dan mendaftarkan sekaligus kitab-kitab yang hendak diajarkan.

Sementara itu di negara-negara Asia Timur, Laurens Of Arabian mengupah seorang ulama yang anti tarekat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tarekat. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis. Akibatnya kerajaan Arab Saudi setelah diambil alih oleh pemimpin yang bermazhab Wahabiah telah mengharamkan Tasauf dan Tarekat. Sedangkan di situlah (Mekah dan Madinah) asal mulanya pusat gerakan tarekat. Aliran faham anti tasauf dan tarekat itu telah menguasai di pusat-pusat pengajian di Timur Tengah dan pusat pengajian di Eropa, sehingga para pelajar termasuk di negara ini yang sekarang telah bergelar ulama mengikuti aliran itu.

Selain menggunakan media masa (buku dan majalah) untuk menghapuskan tarekat sufi, pihak musuh Islam juga menggunakan berbagai cara lain, diantaranya mereka menciptakan tarekat sesat (palsu) dan menyelewengkan tarekat yang sebenarnya dengan menyeludupkan ajaran-ajaran mereka ke dalam gerakan tarekat. Ajaran mereka itulah yang mendakwa konon mendapat wahyu, dilantik menjadi nabi, menjadi Nabi Isa, Imam Mahdi dan lain sebagainya. Di antaranya yang jelas kepada kita adalah gerakan Qadiani, Bahai, Ismailiah di India, pimpinan Agha Khan dll.

Seorang penulis barat A.J. Quine dalam novelnya The Mahdi menyampaikan tentang bagaimana dua badan dunia mewujudkan Al Mahdi palsu untuk merusak keyakinan umat Islam terhadap Al Mahdi yang sebenarnya yang disebut oleh Rasulullah SAW akan muncul di akhir zaman.Gerakan tarekat sesat (palsu) telah dikembangkan di seluruh dunia dan ini menjadi alasan bagi ulama anti tarekat untuk menguatkan hujjah mereka bahwa tarekat bukanlah ajaran Islam termasuk bertawassul itu suatu perbuatan sirik. Gerakan tarekat sesat tersebut tidak mustahil datang (tersebar) di negara kita sehingga merusak tarekat yang sebenarnya. Akibatnya pihak yang berwenang melakukan penyelidikan atas tarekat sesat tersebut kemudian membuat kesimpulan menyalahkan semua tarekat-tarekat yang ada termasuk tarekat yang haq.

Kalau pihak tertentu membuat kesimpulan mendakwa aliran tarekat semuanya sesat, lalu bagaimana kita hendak menghukumkan kepada ulama-ulama terdahulu yang mengasaskan, mengajarkan dan mengamalkan tarekat seperti Al Ghazali (Tarekat Al Ghazaliah), Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani (Tarekat Qadiriah), Abdul Hasan Ali Asysily (Tarekat Syaziliyah), Muhammad Bin Bahaudin Naqsyabandi (Tarekat Naqsyabandiah) dan yang lainnya seperti Rafieyah, Ahmadiyah, Dasuqiyah, Satariyah dan sebanyak lebih dari 40 jenis tarekat ?

Kalau terdapat kesilapan dari segi pelaksanaan oleh khalifah atau syeikh tarekat yang kemudian (mutaakhirin) ini, itu adalah disebabkan kelemahan pribadi mereka sebagai manusia. Maka tidaklah sepantasnya diambil kesimpulan mengharamkan tarekat yang haq, sama seperti menuduh pengikutnya juga sesat. Sedang mereka terdiri dari orang-orang yang salih dan para Wali Allah.

Label:

PANDANGAN MONUMENTAL TENTANG TASAWUF


Pandangan paling monumental tentang Tasauf justru dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih mengumpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahawa definisi Tasauf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasauf tidak dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.

Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahawa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah faham terhadap Tasauf, semata-mata kerana kebodohannya terhadap hakikat Tasauf itu sendiri. Menurutnya Tasauf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. RUHNYA ADALAH FRIMAN ALLAH SWT.:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya rugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia solat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)

“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)

“Dan bertaqwalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)

SABDA NABI SAW:
“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Tasauf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasauf adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam.
Secara lebih terperinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:

MUHAMMAD AL-JURAIRY:
“Tasauf bererti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

AL-JUNAID AL-BAGHDADY:
“Tasauf ertinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”
“Tasauf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa terikat dengan apa pun.”
“Tasauf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasauf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasauf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang berpandukan Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang soleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahawa wujud batinnya rosak.”

AL-HUSAIN BIN MANSHUR AL-HALLAJ:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”

ABU HAMZAH AL-BAGHDADY:

“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, dapat penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tidak dikenali.”

AMR BIN UTSMAN AL-MAKKY:
“Tasauf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

MOHAMMAD BIN ALI AL-QASHSHAB:
“Tasauf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”

SAMNUN:
“Tasauf bererti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”

RUWAIM BIN AHMAD:
“Tasauf ertinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”
“Tasauf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”

MA’RUF AL-KARKHY:
“Tasauf ertinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.

HAMDUN AL-QASHSHSAR:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, kerana mereka melihat dengan alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar kerana mengerjakan kebaikan itu.”

AL-KHARRAZ:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahsia-rahsia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian kerana kami.”

SAHL BIN ABDULLAH:

“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

AHMAD AN-NUURY:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”

MUHAMMAD BIN ALI KATTANY:
“Tasauf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasauf.”

AHMAD BIN MUHAMMAD AR-RUDZBARY:
“Tasauf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasauf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”

ABU BAKR ASY-SYIBLY:
“Tasauf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat.” “Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memutuskannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak akan melihatKu.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasauf adalah kilat yang menyala, dan Tasauf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karana adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

AL-JURAIRY:
“Tasauf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

AL-MUZAYYIN:
“Tasauf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

ASKAR AN-NAKHSYABY:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”

DZUN NUUN AL-MISHRY:

“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

MUHAMMAD AL-WASITHY:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

ABU NASHR AS-SARRAJ ATH-THUSY:

“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

AHMAD IBNUL JALLA’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahawa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karananya dia disebut Sufi.”

ABU YA’QUB AL-MADZABILY:
“Tasauf adalah keadaan dimana semuanribut kemanusiaan terhapus.”

ABUL HASAN AS-SIRWANY:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang menyertainya.”

ABU ALI AD-DAQQAQ:

“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”

ABU SAHL ASH-SHA’LUKI:
“Tasauf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasauf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karana standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.
Hasil: Dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasauf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

TERMINOLOGI TASAUF
Di dalam dunia Tasauf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan saranan untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Karana sejumlah ensiklopedia Tasauf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:

Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.
Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasauf, antara lain:

Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasauf, Adab, Persahabatn, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Tarekat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.

Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasauf, kerana perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain ada substansi, juga mengandung prihal-prihal jalan ruhani itu sendiri.

Label:

Indahnya Dunia Tasawuf dan Pendapat Ulama Muktabar

IMAM ASY-SYATIBI DALAM KITABNYA AL-I'THISOM HALAMAN 237 ;
"Tasawuf bukan termasuk perkara bid'ah dan bukan pula permasalahan yang dapat dipecahkan dengan dalil secara mutlak, karena perkara ini terbagi-bagi. Untuk lebih mudah dipahami, lafazh tasawuf harus diterangkan terlebih dahulu, agar hukumnya menjadi jelas dan terperinci, karena menurut para ulama mutakhkhirin tasawuf adalah perkara yang global. Kesimpulan tentang pengertian lafazh tasawuf, menurut mereka ada dua, yaitu: (1) Berakhlak dengan akhlak yang terpuji dan meninggalkan akhlak yang tercela, (2). Melupakan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan selalu bersama Allah."
Cover Kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah ; Dar El-Ma'reefah
IMAM ABU HANIFAH (81-150 H)
59 والآيات ثابتة للأنبياء والكرامات للأولياء حق .
59 . mukjizat ( mu’jiza ) ditakdirkan untuk para nabi , dan kesaktian ( karamah ) ditakdirkan untuk Para Wali ( awliya ) , semua itu benar [Al-Fiqh Al-Akbar]
Imam Abu Hanifah berkata, "Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja'far as-Shadiq dan mendapatkan ilmu spiritual (tasawuf) yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar". Ad-Durr al-Mukhtar, juz 1. hal. 43 bahwa Ibn 'Abideen said, "Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabandi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma'ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta'i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifah, yang mendukung jalan Sufi." Imam Abu Hanifah berkata lagi sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu'man, "Jika tidak karena dua tahun, Nu'man (saya) telah celaka." Itulah dua tahun bersama Ja'far as-Shadiq

IMAM MALIK (94-179 H)
و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق

Imam Malik berfatwa: "man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik (rusak), dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran." [dalam buku 'Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, juz. 2, hal. 195], ) [ Ibn `Ajiba , Iqaz al himam fi sharh al hikam ( Cairo : Halabi , 1392/1972 ) p . 5 6 ]

IMAM SYAFI'I (150-205 H)
Imam Syafi'i berkata: "Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu :
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf [Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, karya Imam 'Ajluni, juz.1, hal. 341.]
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
“Jadilah ahli ilmu fiqih dan juga ahli tasawuf, dan janganlah engkau hanya mengambil salah satunya # Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
“Mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan (nikmatnya) takwa # sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?" [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47] Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34; dan Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48]

IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)
Imam Ahmad berfatwa: "Ya walladee 'alayka bi-jallassati ha'ula'i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu 'alayna bikathuratil 'ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa 'uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi," –Tanwir al-Qulub, hal. 405, Shaikh Amin al-Kurdi). Imam Ahmad berkata tentang Sufi:"Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" ( Ghiza al-Albab, juz. 1, hal. 120)
Imam Ahmad berkata mengenai para sufi : “ Aku tidak tahu apakah ada lebih baik dibanding mereka itu"
[al Saffarini , Ghidha ‘ al albab li sharh manzumat al adab ( Cairo : Matba`at al Najah , 1324/1906 ) 1 : 120 ]

IMAM AL-MUHASIBIY (243 H)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat" . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawwuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya hal. 27-32

IMAM AL-QUSHAYRIY (465 H)
Imam al-Qushayri tentang Tasawwuf: "Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya ."[Ar-Risalat al-Qushayriyyah, hal. 2]

IMAM HUJJATUL ISLAM AL-GHAZALIY (450-505 H)
Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawwuf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, hal. 131]

IMAM HUJJATUL ISLAM AN-NAWAWI (620-676 H)
Dalam suratnya al-Maqasid: "Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, hal. 20]

IMAM FAKHR AD-DIN AR-RAZI (544-606 H)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: "Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku" ." [Ictiqadat Furaq al-Musliman, hal. 72, 73]

IMAM IBNU HAJAR AL-HAITAMIY
Shekh al Islam Ibn Hajar al Haytami memiliki seorang siswa yaitu Zakariyya al Ansari . dia suatu kali ditanya mengenai kedudukan resmi dari yang mencela para sufi : yaitu punya alasan untuk mencela ? dia menjawab di Fatwanya hadithiyya : “ itu adalah kedudukan ada setiap orang diberkahi dengan batin dan agama tidak untuk jatuh menuju terbungkus dari mencela kaum ini ( para sufi ) , maka suatu racun maut , sebagai sudah lagi disaksikan dari dahulu dan masakini . “ [Ibnu Hajar al Haytami , Fatawa hadithiyya ( Cairo : al Halabi , 1970 ) p . 331]
Shekh al Islam Ibn Hajar al Haytami jawaban itu siapa menghujat sufi di fatwanya betajuk : “ siapapun menyangkal , menolak , atau tidak menerima para sufi , Allah akan tidak membuat pengetahuannya bermanfaat . “ [al Haytami , Fatawa hadithiyya p . 52 54 . ]

IBNU KHALDUN (733-808 H)
Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'een, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldan, hal. 328]

IMAM TAJUDDIN AS-SUBKIY
Mu'eed an-Na'eem, hal. 190, dalam menanggapi tasawuf: "Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah". Dia berkata: "Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”.

IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTHIY
Dalam Ta'yad al-haqiqat al-'Aliyya, hal. 57: "tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid'ah (yg dlolalah)"

IBNU TAYMIYYAH (661-728 H)
Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah, Dar ar-Rahmat, Cairo, juz, 11, hal. 497, Kitab Tasawwuf: "Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadirat Allah dan ketaatan kepada Nabi."

Juga dalam hal 499: "Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka' bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita. Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Ma'ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa'i, and Shaikh Bayazid al-Bistami. Ibn Taymiyyah mengutip Bayazid al-Bistami pada hal. 510, juz 10: "...Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:" Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?". Dan Allah menjawab:
"Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku".

Ibn Taymiah melanjutkan kutipan Bayazid al-Bistami, " Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya". Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhud (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami ( Mursyid Tariqah Naqshbandi). Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul saw.

Apa yang dimaksud Ibnu Taymiah tentang istilah Tasawwuf

"Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)"

Dia melanjutkan mengenai Sufi,"mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal)."

IMAM IBNU QAYYIM AL-JAUZIY (751 H)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, "Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasawwuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh Sufyan ath-Tsauri (161 H./777 M. Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: "Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (115 H./733 M) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya') dalam diri (Manazil as-Sa'ireen). Lanjut Ibn Qayyim : "Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh"

IMAM IBNU 'ABIDIN
Ulama besar, Ibn 'Abidin dalam Rasa'il Ibn Abidin (hal. 172-173) menyatakan: " Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka". [Majallah al-Muslim, 6th ed., 1378 H, hal. 24]

SYEKH RASYID RIDHA
Dia berkata,"tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi" [Majallah al-Manar, 1st year, hal. 726].

MAULANA ABUL HASAN 'ALI AN-NADWI
Maulana Abul Hasan 'Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , hal. 140-146, "Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma'siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah"

"Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasawuf" "Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam"

ABUL 'ALA MAWDUDI
Dalam Mabadi' al-Islam (hal. 17), "Tasawwuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul". "Tasawwuf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya."

Ringkasnya, tasawwuf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

Label:

DEFINISI THARIQAH/TAREKAT

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan  atau cara. Yang dimaksudkan di sini ialah jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Label:

4 TINGKATAN AGAMA DALAM ILMU TASAWUF

1.Pemahaman syari'at
2.Pemahaman tarekat
3.Pemahaman hakikat
4. Pemahaman makrifat
Tasawuf adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, renungan dsb.
Ilmu tasawuf disebut juga sebagai ilmu suluk atau ilmu tarekat.
Dalam perkembangan peradaban di dunia yang semakin materialisme, ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang makin beragam dan meningkat, maka banyak terjadi keguncangan hati serta ketidakstabilan jiwa.
Oleh karena itu terasa pentingnya bimbingan rohani dengan tuntutan agama.
Agama Islam, sebagai jalan untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat kadang-kadang dipahami sebagai indoktrinasi-indoktrinasi yang kaku.
Dalam banyak kejadian sering diucapkan kata-kata kafir, halal, haram, murtat, tanpa memahami hakekatnya.
Ilmu tasawuf berupaya untuk menuntun manusia menuju ketenangan jiwa yang disebut sakinah. Ketenangan jiwa manusia bersumber dari hati.
Menurut Al-Ghazali ada tiga istilah yang pengertiannya sama, yaitu Qolbun, Nafsun, dan Roh. Secara harfiah pengertian ketiga istilah tersebut berbeda. Pengertian hati dalam ilmu Tasawuf dibagi menjadi empat:
a.Qolbun
Artinya bolak-balik, setiap waktu berubah-ubah.
Bagi orang yang belum mencapai hakekat, inilah yang disebut sebagai hati.
Perasaannya, jiwanya terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang ada. 

b.Dlamirun
Artinya lubuk hati. Orang ini telah mengetahui pedoman hidup, telah mengetahui nilai-nilai kebenaran, tapi kadang-kadang ia bisa lepas kontrol dan tergelincir.

c.Fuadun
Artinya hati nurani. Orang yang bisa menerima kebenaran dan melaksanakannya di dalam setiap perbuatannya. 

d. Sirrun
Artinya rahasia hati. Orang yang telah dibimbing oleh Allah.
Dalam kehidupan masyarakat kita sering bertemu dengan orang-orang yang mendapat "barokah" dari Allah dalam bentuk:
a.Orang yang meninggal dunia dengan tenang, khusnul khotimah.
b.Orang yang meninggalkan keturunan manusia-manusia yang saleh.
c.Orang-orang yang di masa tuanya senang walaupun di masa muda penuh kesulitan.
d.Orang-orang yang dalam kesulitan selalu mendapat pertolongan Allah.
e.Orang-orang yang menjalani hidup senantiasa dalam keadaan tenang-tenteram.
f. Orang-orang yang selalu dapat berbuat amal kebajikan dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun.
Untuk mencapai keberkatan tersebut ada jalannya yaitu:
a.Memiliki keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT, rahmatnya, barokahnya.
b.Memiliki amalan-amalan dalam hidup, di antaranya tidak meninggalkan shalat lima waktu, dzikir wirid, shalat tahajjud, membaca serta menghayati bacaan-bacaan Alquran, Asmaul Husna, sholawat nabi.
.
EMPAT TINGKATAN PEMAHAMAN AGAMA
1. Pemahaman syariat
Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.

2.Pemahaman tarekat
Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara'a: kalau syara'a jalan di dalam kota, maka thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang. Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat. Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru tarekat. Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk. Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb. Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat. Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

3. Pemahaman Hakekat
Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya "sholat mencegah kemunkaran", makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji. Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu.

4.Pemahaman Makrifat
 Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta. Batinnya sudah dekat dengan Allah. Semua gerakannya lillahitaala, dan janji Allah untuk membantu setiap aktivitas orang tersebut: tidak ada aku, tidak ada kamu; yang ada hanyalah Allah.

Label: